Jembatan yang selalu di jadikan icon foto di baduy |
hanya menggunakan material alami |
Esok harinya selesai sarapan
sekitar jam 7:30 kami melanjutkan perjalanan menuju Baduy dalam. Kami harus
menempuh jarak 10 km, kami melewati jembatan gantung yang terkenal yang terbuat
dari bambu dan serat rumbai yang digunakan sebagai tali untuk mengikat bambunya.
Karena jembatan ini tidak menggunakan bahan material apapun selain bahan-bahan
yang alami. Dan jembatan ini sering sekali digunakan untuk berfoto-foto bagi
para wisatawan yang datang ke Baduy. Wow trekking menuju Baduy dalam sangat
diluar dugaan, seperti naik turun gunung. Saat itu musim durian, di sepanjang
perjalanan kami disuguhi oleh durian yang baru saja jatuh dari pohon dan
rasanya hemmmm mantappp ke baduy saat itu seperti surganya durian.
Maka dari itu kami sarankan apabila anda mau ke Baduy hendaklah pergi di cuaca yang tepat, pilihlah sepatu yang baik dan apabila di musim hujan gunakan tongkat kayu. Ditengah perjalanan, Lulu terkena duri binatang ditelapak kakinya, durinya besar sekali dan pak Idong membersihkannya dengan batang tanaman yang bernama Cariang. Dan efek tanaman cariang itu sangat cepat, Lulu dapat berjalan seperti biasa.
Inilah jembatan perbatasan, saatnya mematikan kamera |
Kami melanjutkan perjalanan
hingga sampailah kami di jembatan bambu ketiga, dimana batas antara Baduy dalam
dan Baduy luar nah diperbatasan ini pula lah kami tidak boleh menggunakan alat
elektronik apapun dan mengambil gambar apapun. Ada pantangan siapa yang
mengambil gambar diam-diam di Baduy dalam pasti akan sakit saat pulang. Setelah
melewati jembatan perbatasan kita melewati jalanan menanjak seperti tebing tapi
tebing tanah dan memiliki kemiringan 70 derajat, tanjakkan ini dinamakan
tanjakkan tambayang. kami memutuskan untuk beristirahat sejenak menikmati
indahnya pemandangan.
Kira-kira
1,5 jam kami sampai di ladang pak Idong disana kami beristirahat karena
lelahnya perjalanan yang sudah kami lewati, lagi-lagi kami disuguhkan durian,
memasak mie yang telah kami bawa. Pak Idong memiliki 4 orang anak yaitu Pulung,
Sri, Sarim, dan Samin. Hanya Sri yang dapat berbicara bahasa Indonesia itupun
masih terbata-bata. Di Baduy hanya beberapa orang saja yang dapat berbicara
bahasa Indonesia, karena di Baduy tidak diperbolehkan untuk sekolah. Kira-kira
menuju sore, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah pak Idong di Baduy dalam
desa Cibeo. Baduy terdiri dari Baduy luar dan baduy dalam, Baduy dalam terdiri
dari 3 desa yaitu desa Cikeusik, Cikatawarna, dan Cibeo. Saat kami memasuki Baduy dalam, kami
merasakan udara yang sangat sejuk, air yang masih benar-benar jernih, pokoknya
sangat menyatu dengan alam. Perbedaan yang sangat mencolok dengan Baduy luar
yang sudah terkontaminasi, banyak sampah dan sungainya yang kotor.
Sesampainya
di rumah pak Idong kami beristirahat karena kami benar-benar lelah, lalu kami
membersihkan diri di pancuran, pancurannya bersih dan segar sekali airnya,
rasanya ingin sekali mandi. Di baduy dalam kita tidak diijinkan menggunakan
alat mandi seperti sabun, pasta gigi, shampoo dll. Setelah itu, kami
berbincang-bincang menanyakan tentang baduy dalam sambil melihat barang
dagangannya pak Idong. orang-orang baduy dalam banyak yang membuat gantungan
kunci, gelang, kalung, tas, kain, baju khas baduy untuk dijual kembali. Gue,
Siska dan Lulu membeli gelang 4 seharga 10rb sedangkan Netra, dia membeli
banyak barang yaitu kain khas baduy dalam, gelang, dan gantungan kunci.
Ada hal
yang menarik dan membuat saya terheran-heran ternyata di Baduy dalam ada yang
berjualan jajanan lainnya dan ramai di penuhi pengunjung. Ya memang, katanya sekarang ini baduy
dalam ada yang berjualan, seorang perempuan yang berjualan dari desa Cijahe,
dia berjualan hanya dua minggu sekali. Wah sebuah pertanyaan apakah saya
beruntung melihat hal seperti ini atau malah membuat pertanyaan di otak saya,
kenapa baduy yang tertutup dari orang luar malah terkontaminasi di dalamnya???
Sehingga kejadian seperti itu kami sebutnya ada
alfaramat di baduy dalam. Kami makan siang dengan bahan makanan yang telah kami beli di desa Gajeboh.
Lagi-lagi kami memakan sarden yang amis.
Malam
di baduy dalam lebih menyenangkan di bandingkan dengan baduy luar ditambah
dengan semua alat komunikasi kami mati yang semakin menambah suasana menyatu
dengan mereka. Penerangan yang hanya menggunakan petromak dan lilin menjadi
cahaya kami pada malam hari. Kehangatan keluarga masyarakat baduy dalam sangat
kami rasakan, tawa canda, keingintahuan mereka terhadap makanan yang kami bawa
menambah kelucuan alami mereka. Kami pun bertukar makanan, saya memberikan
mereka wedang jahe dan susu dan mereka memberikan kami kue seprong yaitu kue
yang terbuat dari singkong dengan gula merah dibungkus dengan daun pisang
rasanya persis seperti timus.
Saya,
Lulu dan Siska dilanda buang air kecil, kami terpaksa berjalan bersama menuju
sungai untuk buang air kecil. Kami hanya menggunakan senter sebagai penerangan
kami, hampir saja saya terjatuh karena tidak bisa melihat jalan yang gelap.
Kami buang air bergantian, ternyata disana banyak orang-orang baduy yang buang
air kecil, besar dan mencuci piring semua menyatu disungai itu dengan tempatnya
masing-masing. Hahaha kejadian lucu dan luar biasa yang kami alami.
Sekembalinya
di rumah kami melihat Netra yang sudah tidur, sungguh tak sopan sekali dia tidur
setelah makan malam dan meninggalkan orang-orang Baduy yang sedang bercerita
bersama kami. Hem nikmatnya pengalaman di Baduy dalam dengan segala kesusahan
yang kami alami, tetapi terbayar dengan kehangatan yang kami dapatkan disini.
Oh iya, pak Idong memberitahu kami kalau dia tidak bisa mengantarkan kami
pulang karena besok dia ada acara menanam padi bersama di huma serang.
Sementara itu, kami diantarkan oleh Pulung dan Sarim sebagai guide kami. Lilin
yang dimatikan menandakan kami harus tidur.
No comments:
Post a Comment